ilustrasi by_http://yantipdipforboyolali.blogspot.com
Tak dipungkiri, di saat sulit dan tertekan terkadang ada beberapa hal yang sekiranya kurang patut untuk diungkapkan atau diputuskan, tetap saja harus terlontar baik sengaja atau tidak sengaja sebagai respon atau solusi atas sebuah permasalahan. Terkadang pilihan pahit harus diambil oleh pimpinan guna melanjutkan kelangsungan suatu negara atau lembaga. Orang-orang yang dahulunya pernah sangat berjasa dapat menjadi tak berharga sama sekali manakala negara atau lembaga dalam keadaan sekarat, dan sangatlah wajar manakala ada yang harus dikorbankan bagi kepentingan bersama.
Beberapa tokoh yang berjasa besar pada bangsa dan negara, bahkan mereka sebagai kunci dari bangunan kemerdekaan Indonesia malah sama sekali tidak mendapatkan penghargaan apapun dari pemerintah hanya karena mereka diduga terlibat dengan pemberontakan atas kekecewaan mereka pada pemerintah yang saat itu sudah menyimpang dari semangat perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Sebut saja seperti Sjafruddin Prawiranegara, pejuang pada masa kemerdekaan RI yang juga pernah menjabat sebagai Presiden/Ketua PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) ketika pemerintahan RI di Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda saat Agresi Militer Belanda II pada tanggal 19 Desember 1948.
Syafrudin Prawiranegara
Syafruddin adalah orang yang ditugaskan oleh Soekarno dan Hatta untuk membentuk Pemerintahan Darurat RI (PDRI), ketika Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta ditangkap pada Agresi Militer II, kemudian diasingkan oleh Belanda ke Pulau Bangka di tahun 1948. Syafruddin kemudian diangkat menjadi Ketua Pemerintah Darurat RI pada 1948. Atas usaha PDRI pulalah, akhirnya Soekarno dan kawan-kawan dibebaskan dan kembali ke Yogyakarta.
Sebelumnya Syafrudin Prawiranegara pernah menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri, Menteri Keuangan, dan Menteri Kemakmuran. Syafruddin kemudian menjabat sebagai Gubernur Bank Sentral Indonesia yang pertama, pada tahun 1951. Sebelumnya ia adalah Presiden Direktur Javasche Bank yang terakhir, yang kemudian diubah menjadi Bank Sentral Indonesia (Bank Indonesia sekarang).
Pemerintah Indonesia menduga adanya keterlibatan Syafrudin dengan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Barat yang berdiri akibat dari ketidakpuasan terhadap pemerintah karena maraknya ketimpangan-ketimpangan sosial yang terjadi dan pengaruh komunis yang semakin menguat. Atas hal itulah maka Syafrudin Prawiranegara sejak meninggalnya pada tanggal 15 Februari 1989 hingga saat ini sama sekali belum menyandang gelar “Pahlawan Nasional”.
Istiqomah dan Berjuang dengan Hati
Penyimpangan atas semangat perjuangan yang sejatinya dahulu diusung oleh para pendiri bangsa ini, selalu saja menimbulkan kekecewaan bagi sebagian pejuang yang kemudian menimbulkan pergolakan dan perlawan di pelbagai lini. Baik sebagai salah satu bentuk teguran ataupun peringatan, bermacam bentuk ketidak-puasan tersebut seyogyanya tetap dapat disikapi dengan bijak oleh para pemimpin tanpa harus mengurangi rasa penghormatan dan penghargaan terhadap para pahlawan itu sendiri yang telah berjasa bagi kemerdekaan bangsa Indonesia.
Bangsa ini dahulunya dibentuk oleh para pemuda yang sama sekali tidak memiliki motif/kepentingan apapun selain keikhlasan berjuang dengan berharap rahmat Tuhan. Lihatlah bagaimana Pancasila itu dibuat sebagai landasan negara yang di dalamnya terkandung berbagai nilai-nilai mulia yang kesemuanya diambil dari nilai kearifan lokal dan merupakan jawaban atas semua permasalahan bangsa Indonesia. Lihatlah bagaimana keragaman/perbedaan itu disatukan oleh pemuda dan terangkum dalam Bhineka Tunggal Ika melalui Sumpah Pemuda. Dan lihatlah bagaimana Undang-undang Dasar 1945 yang kandungan nilai-nilainya terhimpun dalam pembukaan UUD ’45 itu terbentuk dan tak tergantikan hingga saat ini.
Kesemuanya adalah hasil dari sebuah perjuangan dengan semangat persatuan tanpa ada kepentingan apapun atau berharap imbalan apapun (Zero Mind).
Windmill – Time goes wherever you are
Tidak ada komentar:
Posting Komentar